Thursday, January 31, 2013

Jalan Desa Yang Menjadi Produktif

Kondisi jalan yang pada awalnya mulus tanpa lubang akan semakin menurun kualitasnya seiring waktu. Tanpa pemeliharaan dan perbaikan rutin, jalan yang ada akan semakin rusak kondisinya, bahkan menjadi sulit untuk dilalui kendaraan. Keluhan mengenai kondisi jalan yang rusak selalu saja terdengar dari tiap wilayah. Jalan yang letaknya berada ruangan terbuka itu, walaupun tidak terlalu sering dilalui kendaraan tetap akan mengalami penurunan kualitas.

Kali ini yang menjadi sorotan utama penulis adalah mengenai jalan Desa. Sesuai dengan namanya berarti jalan ini adalah jalan yang berada dilingkungan administrasi pemerintahan Desa, jalan yang menghubungkan antar kampung dilingkungan Desa tersebut.
Berdasarkan pengamatan penulis pada beberapa wilayah, khususnya di pulau Jawa, kondisi jalan yang terdapat di Desa banyak yang dalam kondisi “memprihatinkan”. Ada yang dibiarkan rusak dan berlubang hingga bertahun-tahun, ada yang sejak awal dibangun belum pernah “tersentuh” aspal. 
Penulis merasa salut dan bangga pada beberapa Desa yang mampu membangun dan memperbaiki jalan dilingkungan Desa secara swadaya dan gotong-royong, terlepas dari mana mereka mengumpulkan biayanya. Apakah berasal dari sumbangan sukarela warga, sumbangan donatur ataupun dari pungutan “portal” layaknya jalan tol. Semangat dan keinginan mereka untuk membangun dan memperbaiki jalan mereka tersebut patut diacungi jempol. Dana pembangunan dan perbaikan jalan di Desa memang menjadi satu kendala tersendiri, namun bukan berarti tidak ada solusi lain selain dari “setia” menunggu anggaran untuk Desa tersebut diturunkan.

Penulis memiliki pemikiran dan ide untuk membuat suatu program ditingkat Desa, utamanya Desa yang “terabaikan” dari perhatian pemerintah daerah setempat. Program ini adalah program untuk menyediakan dana pembangunan dan perbaikan jalan Desa secara mandiri, yang memiliki beberapa manfaat lain selain dari sumber pemasukan dana. Mungkin saja sebelumnya sudah ada yang mengusulkan dan menjalankan program seperti ini, namun penulis belum pernah menyaksikannya secara langsung.

Program Dana Mandiri Untuk Jalan Desa ini adalah program pemanfaatan lahan-lahan kosong, terutama disepanjang kiri dan kanan bahu jalan atau lahan-lahan lainnya yang disediakan khusus oleh warga dan pemerintah Desa setempat. Program ini sebelumnya diawali langkah musyawarah yang kemudian  disepakati dan diketahui pemerintah beserta instansi terkait setempat, selanjutnya disosialisasikan ke masyarakat.
Lahan-lahan yang sudah disiapkan dan disepakati bersama selanjutnya ditanami dengan pohon-pohon yang memiliki nilai jual cukup tinggi dan tingkat pertumbuhannya relatif cepat. Jenis pohon tersebut misalnya pohon albasia/sengon dan jabon yang rata-rata usia panennya antara 5 hingga 7 tahun. Harga jual pohon tersebut adalah bervariasi pada setiap daerah. Program ini harus dijalankan secara berkesinambungan, dan dalam waktu 1 sampai 2 tahun setelah penanaman pohon tahap pertama harus dilakukan penanaman pohon tahap kedua dan seterusnya dengan rentang waktu yang sama.
Seluruh warga harus berkomitmen dan bergotong-royong menanam dan merawat secara besama pohon-pohon tersebut hingga usia panen. Mengenai penyediaan bibit pohon tersebut bisa didapat dari bantuan pihak terkait melalui usulan penyediaan bibit untuk beberapa Desa sekaligus atau sebaiknya membuat pembibitan secara swadaya, toh biayanya tidaklah terlalu besar, disamping itu dapat menghindari kecurigaan adanya “permainan” dana anggaran pengadaan bibit tersebut. Pada saat panen akan dilakukan, masyarakat dan instansi terkait harus secara bersama-sama mengawasinya untuk menghindari penyelewengan. Halnya dengan penggunaan dana yang didapatkan juga harus selalu dalam pengawasan bersama. Bila perlu dibentuk kepanitiaan yang khusus mengawasi jalannya program tersebut.
Program seperti ini mungkin dapat dituangkan dalan suatu kebijakan khusus dari pemerintah pusat hingga ke pemerintah daerah. Namun akan lebih baik jika program ini dimunculkan secara mandiri ditiap Desa dengan mengedepankan semangat gotong-royong yang merupakan inti dari program tersebut. Pemikiran-pemikiran picik yang beranggapan bahwa program tersebut hanya akan menciptakan lapangan korupsi dan kolusi baru sebaiknya dihilangkan, pemikiran seperti itu hanya akan menjadi penghalang untuk melangkah maju.
Oke, sekarang kita coba untuk berhitung secara sederhana. Jika jarak tanam adalah 4 hingga 5 meter, maka pada kiri dan kanan jalan sepanjang 1 kilometer bisa ditanam sekira 500 pohon. Misalkan dalam satu Desa bisa ditanam sebanyak 3.000 pohon yang disebar di beberapa lokasi atau ekuivalen 6 km panjang jalan, dan harga pohon siap panen adalah Rp200.000,- per pohon, maka dalam waktu 5 hingga 7 tahun akan tersedia dana sejumlah 3.000 x Rp200.000,- = Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah). Dengan sistem penanaman pohon yang berkesinambungan bisa didapatkan pemasukan kembali dalam waktu 1 hingga 2 tahun berikutnya.
Jika untuk meng-aspal jalan dibutuhkan biaya sebesar Rp 40.000,- per meter persegi, maka Desa tersebut dapat membangun jalan lingkungan dengan lebar 3 meter sepanjang 5 km. Seandainya kita berhitung ada sebanyak 69.000 Desa di seluruh wilayah Indonesia, maka dalam kurun waktu 7 tahun Indonesia akan memiliki 345.000 km jalan Desa yang sudah diaspal atau ekuivalen Rp41.400.000.000.000,-.
Demikian dari penulis.

2 comments:

Dekka said...

Sebenarnya untuk pembangunan infrastruktur di tiap daerah itu tanggung jawab pemerintah pusat untuk tiap pemerataan pembangunan, tapi apa mau dikata kalo mengharapkan dana dari pemerintah pusat turun ke daerah itu memang ada dananya tapi terkadang dana perbaikan itu di tiap daerah gak optimal karena pemda dan kontraktor nakal bermain di situ, maka jalan-jalan sengaja dibuat dengan aspal yang jelek dan dikurangi bahan-bahannya agar nanti ada proyek perbaikan lagi dan lahan korupsi disitu, maka kalo ada swadaya masyarakat itu bagus tapi tergolong kemampuan masyarakat di daerah itu juga

vimax canada said...

sumber info yang bagus